Petemuan ke - 7
Soal
1. Jelaskan fungsi dan lingkup kinerja Penyedia Jasa, Pengguna Jasa dan Auditor pada UU Jasa Konstruksi No. 2 / 2017.
2. Jelaskan yang di maksud dengan DEVIASI Progress Pekerjaan pada Kurva S Schedule Proyek
3. Pada pe.kerjaan beton bertulang, dikenal istilah “Setting Beton” Jelaskan secara rinci hal tersebut, disertai gambar/ilustrasi
Jawaban :
1).• Pengguna Jasa
Pemilik pekerjaan /pemberi tugas/pengguna jasa adalah orang atau badan yang memiliki pekerjaan dan memberikan pekerjaan atau menyuruh memberikan pekerjaan kepada pihak penyedia jasa dan yang membayar biaya pekerjaan tersebut. Pengguna jasa dapat berupa perseorangan, badan, lembaga, atau instansi pemerintah maupun swasta.
Pengertian pemilik proyek menurut UU No. 2 Tahun 2017 adalah orang perorangan atau badan usaha yang diberi kuasa secara hukum untuk bertindak mewakili kepentingan pengguna jasa/ pemilik proyek secara penuh atau terbatas dalam hubungannya dengan penyedia jasa (konsultan perencana, pengawas, dan pelaksana/ kontraktor).
Hak dan kewajban pemilik proyek adalah :
- Menunjuk penyedia jasa ( konsultan dan kontraktor)
- Meminta laporan secara periodik mengenai pelaksanaan pekerjaan yang telah dilakukan oleh penyedia jasa.
- Memberikan fasilitas baik sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh pihak penyedia jasa untuk kelancaran pekerjaan.
- Menyediakan lahan untuk tempat pelaksanaan pekerjaan.
- Menyediakan dana dan kemudian membayar kepada pihak penyedia jasa sejumlah biaya yang diperlukan untuk mewujudkan sebuah bangunan.
- Ikut mengawasi jalannya pelaksanaan pekerjaan yang telah direncanakan dengan cara menunjuk atau menempatkan suatu badan atau orang untuk bertindak atas nama pemilik.
- Mengesahkan perubahan dalam pekerjaan (bila terjadi).
- Menerima dan megesahkan pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan oleh penyedia jasa jika produknya telah sesuai dengan apa yang di kehendaki.
Wewenang pemilik proyek adalah :
- Memberitahukan hasil lelang secara tertulis kepada masing-masing kontraktor.
- Dapat mengambil alih pekerjaan secara sepihak dengan cara memberitahukan secara tertulis kepada kontraktor jika telah terjadi hal-hal diluar kontrak yang ditetapkan.
Adapun tugas dan tanggung jawab pemilik proyek antara lain ;
- Mengadakan perjanjian kerja dengan konsultan perencana, pengawas dan pelaksana (kontraktor) serta menandatangani naskah serah terima.
- Membentuk panitia tender yang bertugas membantu pimpinan proyek dalam menentukan konsultan perencana atau pengawas serta pelaksana proyek.
- Memutuskan pemenang tender yang diusulkan oleh panitia tender.
- Menunjuk konsultan perencana untuk gedung yang dibangun.
- Bertanggung jawab atas selesainya proyek sesuai dengan ketentuan perjanjian yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Syarat (RKS).
- Menyetujui dan menetapkan pembayaran bertahap sesuai dengan pekerjaan yang dilaksanakan.
- Bertanggung jawab terhadap proyek yang dipimpin baik desri segi fiik maupun keuangan.
Fungsi : Sebagai pengguna jasa konstruksi yang dibuat oleh para penyedia jasa
• Penyedia Jasa
Penyedia jasa adalah pemberi layanan jasa konstruksi
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UU No.2 Tahun 2017, bertujuan antara lain;
1. Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan Jasa Konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kukuh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil Jasa Konstruksi yang berkualitas
2. Mewujudkan ketertiban penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam menjalankan hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
3. Mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi
4. Menata sistem Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan lingkungan terbangun
5. Menjamin tata kelola penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang baik; dan
6. Menciptakan integrasi nilai tambah dari seluruh tahapan penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Fungsi : Sebagai badan yang menyediakan jasa konstruksi
• Auditor
Auditor merupakan profesi yang berbeda dengan profesi lainnya seperti pengacara atau dokter. Pengacara atau dokter sebagai pihak pertama bekerja untuk kepentingan klien sebagai pihak kedua merupakan pihak pemohon jasa. Sedangkan auditor dalam menjalankan profesinya tidak hanya ber-tanggung jawab terhadap pihak kedua. Hal tersebut dikarenakan pengguna jasa audi-tor tidak hanya klien (pemberi penugasan), namun juga para stakeholders, sebagi peng-guna laporan keuangan seperti pemegang saham, pemerintah, investor, kreditor, Di-rektorat Jenderal Pajak, otoritas bursa, Ba-pepam, masyarakat umum serta pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu jasa profesi auditor harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada pihak-pihak yang berke-pentingan tersebut.Akuntan publik (Auditor Independen) merupakan profesi yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa sesuai keten-tuan yang berlaku. Keberadaan profesi au-ditor diatur melalui peraturan / ketentuan dari regulator (pemerintah) serta standar dan kode etik profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi. Sedangkan Kantor Akun-tan Publik (KAP) adalah badan usaha yang didirikan berdasarkan hukum Indonesiadan telah mendapatkan izin usaha dari pi-hak yang berwenang. Profesi auditor lahir dan besar berasal dari tuntutan publik akan adanya mekanisme komunikasi independen. Komunikasi ini menghubungkan antara en-titas ekonomi dengan para stakeholder teru-tama berkaitan dengan akuntabilitas entitas yang bersangkutan.
Lingkup pembinaan bidang jasa konstruksi sendiri saat ini sudah berkembang seperti penetapan kebijakan, penyelenggaraan kebijakan, pengawasan dan pemantauan, dan evaluasi dengan pengembangan jasa konstruksi dan pengembangan kerjasama. Dengan sistem pembinaan Desetralisasi diharapkan partisipasi masyaraka turut meningkat terutama pada keterlibatan suatu lembaga peningkatan peran asosiasi dan forum dalam berbagai media.
“Sebagai wakil pemerintah pusat, Gubernur memiliki kewenangan dalam melakukan pemberdayaan dan pengawasan, pelatihan tenaga ahli dan mengelola sistem informasi. Sementara itu Bupati/Walikota menyelenggarakan Pelatihan bagi tenaga kerja konstruksi terampil, pengelolaan sistem informasi serta menerbitkan ijin usaha jasa konstruksi (IUJK) dan melakukan pengawasan tertib usaha dan penyelenggaraan” Ungkap Hambali.
Meskipun Pemerintah Daerah dibawah komando Gubernur memiliki kewenangan, Pemerintah Pusat tetap bertanggung jawab dalam meningkatkan kapasitas usaha, menciptakan kesetaraan hak dan kewajiban pengguna dan penyedia jasa, memastikan penyelenggaraan jasa konstruksi sesuai dengan keamanan ,keselamatan, kesehatan dan keberlanjutan(K4), meningkatkan kompetensi, serta material dan peralatan dan menyediakan sistem informasi jasa konstruksi.
Sementara itu, Sigit Sosiantomo Wakil Ketua Anggota Komisi V DPR RI yang hadir sebagai narasumber dalam acara ini menyampaikan tentang Implementasi Undang-undang No 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi. “Dengan adanya perubahan Undang-Undang dalam sektor jasa konstruksi terutama pada keamanan dan keselamatan, peraturan tenaga kerja konstruksi diharapkan membuat sektor konstruksi di dalam negeri menjadi lebih berkembang dan berdaya saing.” Ujar Sigit
Sigit juga menyampaikan tentang batasan minimal remunerasi tenaga kerja konstruksi agar dapat memberikan kepastian. Sementara itu untuk melakukan sertifikasi diharapkan dapat dilakukan masing-masing asosiasi yang sudah terakreditasi oleh badan sertifikasi, serta menghimbau agar peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini segera ditetapkan, minimal dua tahun setelah UU tersebut ditetapkan sesuai ketentuan.
Dalam sambutannya, Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR yang diwakili oleh Kepala Biro Hukum Putranta Setyanugraha, menyampaikan progress penyusunan peraturan pelaksanaan Undang-Undang No 2 tahun 2017 dimana terdapat 12 amanat Peraturan Pemerintah, 4 amanat Peraturan Presiden, 14 amanat Peraturan Menteri, 2 amanat Keputusan Menteri, dan 2 amanat Peraturan daerah yaitu pada Pasal 29 ayat 1 dan 2.
“Berdasarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2017 dalam Pasal 29 ayat 1 dan 2, Pemerintah Daerah Provinsi dapat membuat kebijakan khusus dan membentuk peraturan di daerah mengenai ijin usaha dan tanda daftar usaha perseorangan, dengan mengeluarkan Pergub tentang Kerjasama operasi badan usaha jasa konstruksi dan subpenyedia jasa konstruksi daerah serta Perda tentang izin usaha jasa konstruksi (IUJK) Kabupaten/Kota” Jelas Putranta.
Dengan adanya pemahaman tentang Undang-Undang No 2 Tahun 2017 ini diharapkan dapat mendukung percepatan Pembangunan Infrastruktur sehingga mampu meningkatkan perekonomian bangsa.
2). Deviasi progres berarti kurangnya konvergensi antara rencana dasar suatu proyek dan pencapaian aktual yang diperoleh pada tanggal tertentu. Ini dapat diturunkan dengan membandingkan nilai yang dianggarkan dari pekerjaan yang dijadwalkan dalam waktu yang ditentukan (nilai yang direncanakan) dengan nilai pekerjaan yang dianggarkan yang benar-benar dicapai pada tanggal itu. Juga dapat diturunkan melalui penentuan persentase pekerjaan yang diselesaikan (dalam hal hasil dan hasil) pada tanggal tertentu terhadap persentase yang diharapkan akan diselesaikan pada tanggal yang sama. Penyimpangan Jadwal harus secara akurat dan segera ditinjau dan diselidiki untuk menemukan penyebabnya.)
Deviasi adalah keterlambatan/penyimpangan yang terjadi pada suatu pekerjaan.
Deviasi pekerjaan pada Kurva S Schedule
Proyek adalah suatu keterlambatan/
penyimpangan yang terjadi pada pembangunan proyek dalam jangka waktu yang ditentukan. Akibat dari Deviasi tersebut, proyek yang mengalami keterlambatan dapat diperpanjang waktu kontraknya sesuai kesepakan dengan catatan proyek tersebut harus diselesaikan dan mendapatkan denda. Konsekuensinya adalah putus kontrak apabila dalam waktu yang telah diberikan tidak dapat diselesaikan juga.
Kesalahan penggunaan dan persepsi Kurva-S
Walaupun gampang dan praktis untuk digunakan, tetap saja masih ada pelaku proyek yang salah persepsi dan salah menggunakan fitur sederhana ini. Berdasarkan pengalaman, ada beberapa hal yang saya anggap keliru dan belum lengkap dalam aplikasi Kurva-S ini, yaitu:
- Anggapan bahwa progress 50% adalah tepat pada 50% waktu pelaksanaan.
Asumsi ini mengesampingkan kenyataan variasi jenis proyek atau keunikan proyek. Menurut saya ini suatu kesalahan persepsi. Contoh pada proyek gedung dimana komponen alat M/E yang cukup tinggi hingga 25% dan dipasang di akhir pelaksanaan proyek. Hal ini berarti kurva-s akan cukup landai di awal dan naik cukup tinggi di bagian akhir waktu pelaksanaan. Kurva-S akhirnya cenderung berada di progres 50% pada lebih dari 50% waktu pelaksanaan.
Persepsi yang benar adalah bahwa progres 50% belum tentu tepat pada 50% waktu pelaksanaan. Ini karena komposisi biaya dan waktu pelaksanaan tiap jenis proyek berbeda-beda. Pada suatu jenis proyek pun cukup variatif terkait lingkup pekerjaan yang dikerjakan.
- Bentuk kurva harus mendekati huruf S. Banyak pelaku proyek mempersepsikan nama kurva-s berarti grafik schedule yang terbentuk juga harus berbentuk S. Kedengaran lucu tapi ini benar-benar terjadi.
Ini juga kesalahan persepsi. Dengan alasan yang sama dengan point di atas bahwa proyek itu unit. Ada begitu banyak variasi termasuk kasus di atas. Bentuk S pada kurva adalah pendekatan.
Variasi bentuk S pada kurva-s akan sesuai kondisi proyek yang dilaksanakan yaitu distribusi bobot, urutan pelaksanaan, durasi, lingkup, dan yang lainnya. Sehingga tidak perlu memaksakan bentuk kurva atau grafik menyerupai S pada kurva-s, walaupun pada kebanyakan kasus kurva yang terbentuk memang mendekati huruf S.
- Distribusi bobot pekerjaan berdasarkan waktu untuk suatu item pekerjaan sering diasumsikan terdistribusi merata.
Kesalahan ini diakibatkan oleh pemahaman yang kurang tepat mengenai Kurva-S. Pemahaman yang dimaksud adalah bagaimana bobot didapatkan, bagaimana struktur biaya masing-masing item pekerjaan dan bagaimana pekerjaan itu dilakukan terkait urutan pelaksanaan dan durasinya.
Distribusi bobot haruslah memperhitungkan rencana volume yang akan dikerjakan dalam satuan waktu dan nilai biayanya. Pada pekerjaan struktur beton untuk gedung berlantai banyak, distribusi bobot dapat dimungkinkan untuk merata. Namun untuk kasus lain misalnya pekerjaan M/E, tidak dapat didistribusikan merata karena pada dasarnya pekerjaan M/E terdiri atas dua kelompok besar yaitu instalasi dan alat M/E. Komposisi biaya antara dua kelompok biaya tersebut berbeda signifikan. Instalasi M/E diperkirakan hanya 10% dari total biaya M/E dan alat M/E bisa mencapai 90%.
- Jika dihubungkan dengan kurva-S hasil realisasi pelaksanaan, hanya menghasilkan selisih akumulatif realisasi terhadap rencana yaitu Ahead (lebih cepat) atau Behind (terlambat). Sangat jarang memanfaatkannya untuk estimasi atau forecast penyelesaian proyek.
Seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya mengenai manfaat schedule Kurva-S cukup banyak. Sayang sekali apabila pada suatu proyek, schedule Kurva-S dibuat namun tidak pernah diupdate realisasi pelaksanaannya. Proyek seakan berjalan tanpa tahu apakah mengalami keterlambatan atau sebaliknya. Tentu berbahaya menjalankan proyek tanpa kendali
Produk turunan dari kurva-s yang paling gampang adalah estimasi waktu penyelesaian proyek. Keterlambatan proyek biasanya sering dikaitkan dengan paramter waktu perkiraan penyelesaian proyek. Untuk mendapatkan parameter ini perlu mempelajari mengenai Earned Value Method (EVM).
- Ahead atau Behind adalah satu-satunya alat untuk menyatakan kondisi realisasi pelaksanaan tanpa memperhatikan aspek lain.
Mungkin ini persepsi yang paling banyak terjadi. Perlu diketahui bahwa Kurva-S menyatakan realisasi pekerjaan dalam bentuk bobot atau nilai biaya yang telah dikerjakan. Dasar tersebut berarti tingkat akurasi dalam hal deviasi tidaklah benar-benar akurat.
Untuk menyatakan apakah proyek benar-benar sedang mengalami keterlambatan, diperlukan alat yang lain misalnya Critical Path Method (CPM) atau Earned Value Method (EVM). Akan tetapi untuk deviasi schedule dan realisasi yang cukup besar, indikasi dari Kurva-S sudah cukup. Pada deviasi yang kecil, perlu instrumen lain untuk menyatakan keterlambatan proyek.
- Cara memprogres pekerjaan persiapan adalah berdasarkan proporsional terhadap pekerjaan fisik. Misal, jika realisasi pekerjaan fisik mencapai 40% maka progres pekerjaan persiapan juga harus 40%.
Ini salah kaprah. Pekerjaan persiapan merupakan salah satu item pekerjaan yang selalu ada dalam BQ dan Kurva-S. Pekerjaan persiapan memiliki karakteristik yaitu tergantung dengan waktu. Artinya pekerjaan ini tidak terkait dengan progres pelaksanaan. Seringpula pada aktualnya pekerjaan persiapan dilakukan lebih dulu seperti kantor direksi, jalan akses, papan nama, dan lain-lain. Cakupan pekerjaan persiapan tersebut tidak terkait dengan seberapa besar progress pelaksanaan pada item pekerjaan fisik yang lain.
Pekerjaan persiapan haruslah diprogres sesuai dengan realisasi aktual di lapangan. Hal ini karena memprogress pelaksanaan dengan Kurva-S adalah suatu tindakan yang mengakui biaya yang dikeluarkan oleh Penyedia Jasa. Memprogress adalah sama dengan mengakui biaya yang dikeluarkan. Perlu kesepakatan awal mengenai bobot progres pada item pekerjaan ini.
- Cara menilai progres realisasi berbeda dengan asumsi atau cara membuat distribusi bobot masing-masing pekerjaan pada Master Schedule S-Curve.
Perbedaan yang akhirnya akan membuat deviasi dalam pelaksanaannya. Asumsi-asumsi terhadap menetapkan distribusi bobot item pekerjaan pada saat perencanaan schedule dalam Kurva-S haruslah sama dengan asumsi-asumsi yang diterapkan dalam melakukan progres realisasi pekerjaan.
Agar tidak terjadi perbedaan pendapat, maka haruslah dilakukan kesepakatan di awal. Perlu diingat bahwa distribusi bobot item pekerjaan dan ketentuan memprogres pekerjaan adalah fokus pada biaya yang dikeluarkan berdasarkan kontrak yang telah disepakati baik ditinjau terhadap BQ maupun jenis kontrak.
- Percepatan dilakukan dengan mempercepat item pekerjaan yang memiliki bobot yang besar, sehingga realisasi schedule dalam waktu singkat dapat menjadi Ahead tanpa melihat aspek pekerjaan kritis.
Persepsi ini pada akhirnya akan membuat keterlambatan schedule berdasarkan Kurva-S dapat dikejar namun berdasarkan aktual waktu penyelesaian sisa pekerjaan mengalami keterlambatan karena sisa pekerjaan memiliki urutan dan ketergantungan yang membutuhkan waktu yang lama walaupun bobot yang kecil.
Dalam usaha percepatan atas keterlambatan pekerjaan, parameter yang paling penting adalah perkiraan waktu penyelesaian proyek. Percepatan hanya dapat berhasil apabila menggunakan fitur Critical Path Method yang merupakan turunan dari Bar Chart. Dengan menggunakan fitur Critical Path Method, rencana percepatan akan jauh lebih akurat.
Kesalahan dan kurang optimalnya penggunaan Kurva-S pada beberapa kasus di atas harusnya dihindari dalam rangka mencapai target waktu yang benar. Walaupun sederhana, Kurva-S cukup bermanfaat sebagai alat kendali waktu pelaksanaan di proyek. Pemahaman filosofis mengenai Kurva-S akan sangat membantu proyek untuk mencapai target waktu.
Kurva-s pada dasarnya adalah perbandingan antara rencana dan realisasi pengeluaran biaya atau lebih pada kebutuhan cash flow. Namun dapat bermanfaat dalam menyatakan apakah proyek terlambat maupun tidak. Keterlambatan yang dinyatakan dalam kurva-s tersebut sebenarnya hanyalah merupakan pendekatan sehingga memiliki akurasi yang tidak tinggi dalam menyatakan keterlambatan proyek. Alat yang lebih baik dalam menyatakan keterlambatan proyek adalah Bar Chart dan produk turunannya yaitu Critical Path Method.
Pada proyek internasional, baik Owner maupun MK menggunakan tiga alat kendali sekaligus yaitu kurva-s, Bar Chart, dan Critical Path Method. Ketiganya digunakan dalam mencapai akurasi penilaian dan membuat program pelaksanaan proyek agar target waktu dapat tercapai. Mungkin kita perlu meniru dan mencoba mengaplikasikannya.
3). Setting beton (pencetakan beton/pengerasan beton) adalah beton basah yang mulai mengeras seiring berjalannya waktu yang disebabkan oleh kelembaban dalam campuran diserap oleh agregat, sebagian campuran ini diuapkan karena iklim dan sebagian lagi digunakan dalam reaksi hidrasi antara semen dan air. Akhirnya, beton akan terbentuk atau sepenuhnya mengeras, inilah yang dimaksud dengan setting beton. Beton ini harus memiliki sifat berbagai bantalan beban dan daya tahan termasuk perubahan volume (penyusutan beton) dalam kriteria yang sesuai.
Jika beton mulai mengeras atau mulai kadaluarsa, beton ini tidak dapat digunakan. Sehingga, beton harus dicor sebelum mulai mengeras, yang biasanya akan memakan waktu sekitar 1 jam setelah pencampuran beton selesai. Dalam industri beton siap pakai yang membutuhkan waktu untuk transportasi, biasanya ditambahkan campuran untuk menunda pengerasan beton. Ini akan memperpanjang waktu pengerasan beton basah sekitar 2-4 jam untuk transportasi dari pabrik ke lokasi konstruksi.
Secara mudah fase seting dari beton dapat diketahui dengan terjadinya cap telapak kaki jika pekerja berjalan diarea beton yang sudah dicor.
Gambar beton dalam fase setting
“Salah satu artinya penting dari fase seting ini adalah bahwa beton yang sudah dicampur atau diaduk harus segera kita tuangkan atau dicor karena jika terlalu lama dibiarkan beton akan menjadi keras”
Pada fase setting ini walaupun beton masih bisa dicor untuk dijadikan bentuk sesuai dengan cetakan akan tetapi jadi sulit untuk difinishing.
Konsekwensi dari fase setting ini adalah ketika beton sudah dicorkan atau dituangkan, tidak boleh dipungut lagi kemudian dicorkan ke tempat yang lain, dengan bahasa yang mudah ketika beton sudah setting tidak dapat diganggu lagi, baik itu dengan pemadatan beton atau bahkan dirubah menjadi beton yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar